Tugas Psikologi Pendidikan
“Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus”
Kelompok 12
Anggota: Andry Sony
S (09-079)
Awiddah
Khairiami P (13-051)
Nanda
Safrida P (13-055)
Alifia
Ridha P (13-063)
Jerni
Hati S (13-067)
Atika Zahra (13-131)
Sekolah atau Lembaga Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Mangunsong, anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang mem-butuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk mengoptimalkan
potensi kemanusia-annya secara utuh akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan
anak. Pendidikan khusus atau luar biasa adalah instruksi yang didesain khusus
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari siswa berkebutuhan khusus. Tujuan utama
dari pendidikan khusus adalah menemukan dan menitikberatkan kemampuan siswa
berkebutuhan khusus.
1.
SLB A
SLB A merupakan Sekolah Luar Biasa yang dikhususkan
pada anak-anak yang mengalami ketidakmampuan untuk melihat dengan jelas
(tunanetra).
Beberapa murid mungkin mengalami problem penglihatan
(visual) yang masih belum diperbaiki. Tetapi ada segelintir murid menderita gangguan
visual serius dan dikategorikan rusak penglihatannya (low vision) atau bahkan buta. Anak-anak low vision memiliki jarak pandang antara 20/70 dan 20/200.
Salah satu tugas penting untuk mengajar anak yang
menderita gangguan atau kerusakan penglihatan adalah menentukan modalitas
(seperti sentuhan atau pendengaran). Anak-anak yang lemah penglihatannya akan
lebih baik disuruh duduk di bangku paling depan di kelas.
SLB A memiliki metode pengajaran sebagai berikut:
a.
Metode
Ceramah
b.
Metode
Tanya Jawab
c.
Metode
Diskusi
d.
Metode
Sorogan
e.
Metode
Bandongan
f.
Metode
Drill
Untuk
fasilitas, SLB A tentunya berbeda dengan sekolah reguler. Fasilitas yang biasa
dipakai adalah alat
bantu menulis huruf Braille, alat
bantu membaca huruf Braille, alat
bantu berhitung, serta
alat bantu yang bersifat audio seperti tape-recorder. Guru yang mengajar di
sekolah tersebut juga merupakan guru yang telah diberikan pelatihan khusus
untuk menangani anak tunanetra.
2.
SLB B
SLB B merupakan Sekolah Luar Biasa yang dikhususkan
pada anak-anak yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar dengan baik
(tunarungu). Persyarat-annya adalah keterangan dari dokter THT, umur sebaiknya
5-11 tahun. Contoh gangguan pada anak-anak yang dimasukkan ke SLB B yaitu:
tuli, baik yang sudah pada saat lahir maupun ketika sudah tumbuh dan berkembang.
Pendekatan yang dilakukan pada anak yang memiliki gangguan
pendengaran:
a.
Pendekatan manual
Bahasa isyarat, yaitu sistem gerakan tangan yang
melambangkan kata-kata yang ingin diucapkan.
Pengejaan jari (finger
spelling), yaitu mengeja setiap kata dengan menandai setiap huruf dari satu
kata.
b.
Pendekatan oral
Membaca gerak bibir (speech reading)
Beberapa
kemajuan medis dan teknologi, seperti yang disebutkan disini, juga telah meningkatkan
kemampuan belajar anak yang menderita masalah pen-dengaran.
a.
Pemasangan
cochlear
b.
Menempatkan semacam alat di telinga untuk membantu anak
supaya dapat mendengar
c.
Sistem hearing aids dan amplifikasi
d.
Perangkat
telekomunikasi
Metode pengajaran yang
paling
tepat untuk digunakan di sekolah SLB B adalah TCL
(teacher centered learning), karena murid membutuhkan bimbingan dari guru,
bisa dengan
pendekatan oral maupun manual. Guru yang mengajar di
sekolah tersebut juga merupakan guru yang telah diberikan pelatihan khusus
untuk menangani anak tunarungu. SLB
biasanya menggunakan
sistem segregasi,
yaitu sistem pembelajaran
yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan anak mendengar normal. Hal
ini supaya mereka lebih fokus dalam penanganannya.
3.
SLB C
SLB C merupakan Sekolah Luar Biasa yang dikhususkan
pada anak-anak yang mengalami keadaaan keterbelakangan mental, keadaan ini dikenal
juga retardasi mental (mental retardation)
atau biasa disebut tunagrahita. Retardasi
mental adalah kondisi sebelum usia 18 tahun yng ditandai dengan lemahnya
kecerdasan (biasanya nilai IQ-nya di bawah 70) dan sulit beradaptasi dengan
kehidupan sehari-hari. Selain intelegensinya rendah anak retardasi mental juga
sulit menyesuaikan diri dan berkembang. Retardasi mental dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa tipe:
1.
Retardasi mental ringan ( IQ 55-70)
2.
Retardasi mental moderat ( IQ 40-54 )
3.
Retardasi mental berat ( IQ 25-39 )
4.
Retardasi mental parah ( IQ < 25 )
Dalam Sekolah Luar Biasa khusunnya SLB-C untuk tunagrahita anak-anak dengan
retardasi mental dapat digolongkan menjadi dua tipe:
1.
Educable
pada kategori ini anak-anak yang bersekolah adalah yang mampu didik atau
yang disebut dengan anak-anak dengan retardasi mental ringan. Mereka dapat
dididik sampai dengan kelas 5 atau 6 sekolah dasar dan dapat dimasukkan pada
sekolah SLB-C.
2.
Trainable
Kategori Trainable atau mampu latih dapat diberikan pada anak-anak dengan
retardasi mental moderat, yang bisa dilatih merawat dirinya sendiri, pertahanan
diri, cara makan, minum, dan mandi, dan dapat juga dilatih untuk berkerja agar
dapat mencari nafkah sendiri nantinya. Sekolah Luar biasa untuk kategori ini
adalah SLB-C1.
Siswa
yang ada di SLB C merupakan
siswa-siswi yang tercakup dalam aspek ataupun golongan dari anak-anak yang beretardasi mental rendah, moderat, berat, hingga parah. Guru yang ada di SLB C merupakan guru yang telah mendapatkan pelatihan dimana mereka akan diberi
informasi mengenai murid-murid SLB C yang mereka ajari serta telah mendapatkan penjabaran
tentang metode-metode pengajaran dan bahan ajaran yang tepat dan sesuai. Di samping itu diperlukan juga psikolog sebagai pengarah para guru dan konsultan di SLB C.
Fasilitas dan infrastruktur
·
Desain kelas
Gaya penataan yang akan digunakan adalah gaya off-set, murid per kelas tidak lebih dari 12
orang. Selain itu gaya duduk off-set membuat murid leluasa di ruang gerak mereka dan tidak terkesan monoton.
·
Pembagian kelas
Kelas dibagi atas beberapa kelas agar guru lebih mudah dalam
membimbing dan mengontrol.
4.
SLB D
SLB D merupakan Sekolah Luar Biasa yang dikhususkan
pada anak-anak yang mengalami cacat tubuh (tunadaksa).
Tunadaksa adalah individu yang memiliki
gangguan gerak
yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang bersifat
bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan termasuk cerebral palsy, amputasi, polio,
dan lumpuh.
Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah yang memiliki
keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik berat yaitu
memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrok gerakan
fisiknya.
Karakterisitik
anak tunadaksa adalah: anggota gerak tubuh tidak lengkap, bentuk anggota tubuh
dan tulang belakang tidak normal, kemampuan gerak sendi terbatas, ada hambatan
dalam melaksanakan aktiļ¬tas kehidupan sehari hari.
Metode pengajaran yang bisa dilakukan untuk SLB D adalah ceramah,
diskusi, dan praktek dalam kehidupan sehari-hari. Membuat pembelajaran
semenarik mungkin
dapat menghilangkan
kejenuhan anak-anak pada saat di dalam kelas. Pengajar/Pembina, Psikolog dan
Dokter khusus bisa disediakan untuk menjamin perkembangan anak.
Metode pendidikan:
1.
Penyelenggaraan
bimbingan dan
penyuluhan di sekolah regular.
Mereka masih bisa tinggal
bersama teman-temannya namun mendapatkan penanganan yang lebih
khusus
2.
Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar
terpisah karena merasa ada gangguan
jika harus disamakan dengan
anak-anak reguler
5.
SLB E
SLB E merupakan
Sekolah Luar Biasa yang dikhususkan pada anak-anak yang mengalami tunalaras.
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan
kontrol sosial. Individu biasanya menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak
sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitar-nya. Tunalaras dapat
disebabkan karena faktor internal dan eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan
sekitar.
Tujuan pendidikan anak tunadaksa bersifat ganda;
berkaitan dengan aspek rehabilitas yang sasarannya adalah pemulihan fisik dan
berhubungan dengan tujuan pendidikan.
Cannon (1975) mengemukakan sekurang-kurangnya ada 7
aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak tunadaksa melalui
pendidikan, yaitu:
1.
Pengembangan intelektual dan akademik
2.
Membantu perkembangan fisik
3.
Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri
4.
Mematangkan aspek sosial
5.
Mematangkan moral dan spiritual
6.
Meningkatkan ekspresi diri
7.
Mempersiapkan masa depan anak
Metode Pengajaran
menggunakan Teacher Centered Learning (TCL) dikarenakan butuh control dari
pengajar agar tidak terjadi kecelakaan akibat keterbatasan atau kekurangan
pengendalian emosi.
Fasilitas:
1.
Pengawas
pembelajaran dimana di setiap proses belajar mengajar ada pengawas yang menjadi
kontrol
kelas
2.
Penjauhan
dari fasilitas benda-benda yang dapat melukai. Missal: benda tajam, benda-benda
keras
3.
Psikolog
yang mumpuni sebagai monitoring emosi dan terapi