Rabu, 18 Juni 2014

[Late Post] Tugas Psikologi Pendidikan: “Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus”

Tugas Psikologi Pendidikan
“Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus”


Kelompok 12
Anggota: Andry Sony S (09-079)
              Awiddah Khairiami P (13-051)
              Nanda Safrida P (13-055)
              Alifia Ridha P (13-063)
              Jerni Hati S (13-067)
 Atika Zahra (13-131)


Sekolah atau Lembaga Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus


Menurut Mangunsong, anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mem-butuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk mengoptimalkan potensi kemanusia-annya secara utuh akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak. Pendidikan khusus atau luar biasa adalah instruksi yang didesain khusus untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari siswa berkebutuhan khusus. Tujuan utama dari pendidikan khusus adalah menemukan dan menitikberatkan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.

1.     SLB A
SLB A merupakan Sekolah Luar Biasa yang dikhususkan pada anak-anak yang mengalami ketidakmampuan untuk melihat dengan jelas (tunanetra).
Beberapa murid mungkin mengalami problem penglihatan (visual) yang masih belum diperbaiki. Tetapi ada segelintir murid menderita gangguan visual serius dan dikategorikan rusak penglihatannya (low vision) atau bahkan buta. Anak-anak low vision memiliki jarak pandang antara 20/70 dan 20/200.
Salah satu tugas penting untuk mengajar anak yang menderita gangguan atau kerusakan penglihatan adalah menentukan modalitas (seperti sentuhan atau pendengaran). Anak-anak yang lemah penglihatannya akan lebih baik disuruh duduk di bangku paling depan di kelas.
SLB A memiliki metode pengajaran sebagai berikut:
a.    Metode Ceramah
b.   Metode Tanya Jawab
c.    Metode Diskusi
d.   Metode Sorogan
e.    Metode Bandongan
f.     Metode Drill
Untuk fasilitas, SLB A tentunya berbeda dengan sekolah reguler. Fasilitas yang biasa dipakai adalah alat bantu menulis huruf Braille, alat bantu membaca huruf Braille, alat bantu berhitung, serta alat bantu yang bersifat audio seperti tape-recorder. Guru yang mengajar di sekolah tersebut juga merupakan guru yang telah diberikan pelatihan khusus untuk menangani anak tunanetra.

2.     SLB B
SLB B merupakan Sekolah Luar Biasa yang dikhususkan pada anak-anak yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar dengan baik (tunarungu). Persyarat-annya adalah keterangan dari dokter THT, umur sebaiknya 5-11 tahun. Contoh gangguan pada anak-anak yang dimasukkan ke SLB B yaitu: tuli, baik yang sudah pada saat lahir maupun ketika sudah tumbuh dan berkembang.
Pendekatan yang dilakukan pada anak yang memiliki gangguan pendengaran:
a.    Pendekatan manual
Bahasa isyarat, yaitu sistem gerakan tangan yang melambangkan kata-kata yang ingin diucapkan.
Pengejaan jari (finger spelling), yaitu mengeja setiap kata dengan menandai setiap huruf dari satu kata.
b.   Pendekatan oral
Membaca gerak bibir (speech reading)
Beberapa kemajuan medis dan teknologi, seperti yang disebutkan disini, juga telah meningkatkan kemampuan belajar anak yang menderita masalah pen-dengaran.
a.    Pemasangan cochlear
b.   Menempatkan semacam alat di telinga untuk membantu anak supaya dapat mendengar
c.    Sistem hearing aids dan amplifikasi
d.   Perangkat telekomunikasi
Metode pengajaran yang paling tepat untuk digunakan di sekolah SLB B adalah TCL (teacher centered learning), karena murid membutuhkan bimbingan dari guru, bisa dengan pendekatan oral maupun manual. Guru yang mengajar di sekolah tersebut juga merupakan guru yang telah diberikan pelatihan khusus untuk menangani anak tunarungu. SLB biasanya menggunakan sistem segregasi, yaitu sistem pembelajaran yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan anak mendengar normal. Hal ini supaya mereka lebih fokus dalam penanganannya.

3.     SLB C
SLB C merupakan Sekolah Luar Biasa yang dikhususkan pada anak-anak yang mengalami keadaaan keterbelakangan mental, keadaan ini dikenal juga retardasi mental (mental retardation) atau biasa disebut tunagrahita. Retardasi mental adalah kondisi sebelum usia 18 tahun yng ditandai dengan lemahnya kecerdasan (biasanya nilai IQ-nya di bawah 70) dan sulit beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari. Selain intelegensinya rendah anak retardasi mental juga sulit menyesuaikan diri dan berkembang. Retardasi mental dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe:
1.   Retardasi mental ringan ( IQ 55-70)
2.   Retardasi mental moderat ( IQ 40-54 )
3.   Retardasi mental berat ( IQ 25-39 )
4.   Retardasi mental parah ( IQ < 25 )
Dalam Sekolah Luar Biasa khusunnya SLB-C untuk tunagrahita anak-anak dengan retardasi mental dapat digolongkan  menjadi dua tipe:
1.   Educable
pada kategori ini anak-anak yang bersekolah adalah yang mampu didik atau yang disebut dengan anak-anak dengan retardasi mental ringan. Mereka dapat dididik sampai dengan kelas 5 atau 6 sekolah dasar dan dapat dimasukkan pada sekolah SLB-C.
2.   Trainable
Kategori Trainable atau mampu latih dapat diberikan pada anak-anak dengan retardasi mental moderat, yang bisa dilatih merawat dirinya sendiri, pertahanan diri, cara makan, minum, dan mandi, dan dapat juga dilatih untuk berkerja agar dapat mencari nafkah sendiri nantinya. Sekolah Luar biasa untuk kategori ini adalah SLB-C1.
Siswa yang ada di SLB C merupakan siswa-siswi yang tercakup dalam aspek ataupun golongan dari anak-anak yang beretardasi mental rendah, moderat, berat, hingga parah. Guru yang ada di SLB C merupakan guru yang telah mendapatkan pelatihan dimana mereka akan diberi informasi mengenai murid-murid SLB C yang mereka ajari serta telah mendapatkan penjabaran tentang metode-metode pengajaran dan bahan ajaran yang tepat dan sesuai. Di samping itu diperlukan juga psikolog sebagai pengarah para guru dan konsultan di SLB C.
Fasilitas dan infrastruktur
·         Desain kelas
Gaya penataan yang akan digunakan adalah gaya off-set, murid per kelas tidak lebih dari 12 orang. Selain itu gaya duduk off-set membuat murid leluasa di ruang gerak mereka dan tidak terkesan monoton.
·         Pembagian kelas
Kelas dibagi atas beberapa kelas agar guru lebih mudah dalam membimbing dan mengontrol.

4.     SLB D
SLB D merupakan Sekolah Luar Biasa yang dikhususkan pada anak-anak yang mengalami cacat tubuh (tunadaksa).
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang bersifat bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan termasuk cerebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh.
Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah yang memiliki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrok gerakan fisiknya.
Karakterisitik anak tunadaksa adalah: anggota gerak tubuh tidak lengkap, bentuk anggota tubuh dan tulang belakang tidak normal, kemampuan gerak sendi terbatas, ada hambatan dalam melaksanakan aktifitas kehidupan sehari hari.
Metode pengajaran yang bisa dilakukan untuk SLB D adalah ceramah, diskusi, dan praktek dalam kehidupan sehari-hari. Membuat pembelajaran semenarik mungkin dapat menghilangkan kejenuhan anak-anak pada saat di dalam kelas. Pengajar/Pembina, Psikolog dan Dokter khusus bisa disediakan untuk menjamin perkembangan anak.
Metode pendidikan:
1.   Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah regular. Mereka masih bisa tinggal bersama teman-temannya namun mendapatkan penanganan yang lebih khusus
2.   Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah karena merasa ada gangguan jika harus disamakan dengan anak-anak reguler

5.     SLB E
SLB  E merupakan Sekolah Luar Biasa yang dikhususkan pada anak-anak yang mengalami tunalaras. Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu biasanya menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitar-nya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
Tujuan pendidikan anak tunadaksa bersifat ganda; berkaitan dengan aspek rehabilitas yang sasarannya adalah pemulihan fisik dan berhubungan dengan tujuan pendidikan.
Cannon (1975) mengemukakan sekurang-kurangnya ada 7 aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak tunadaksa melalui pendidikan, yaitu:
1.   Pengembangan intelektual dan akademik
2.   Membantu perkembangan fisik
3.   Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri
4.   Mematangkan aspek sosial
5.   Mematangkan moral dan spiritual
6.   Meningkatkan ekspresi diri
7.   Mempersiapkan masa depan anak
Metode Pengajaran menggunakan Teacher Centered Learning (TCL) dikarenakan butuh control dari pengajar agar tidak terjadi kecelakaan akibat keterbatasan atau kekurangan pengendalian emosi.
Fasilitas:
1.   Pengawas pembelajaran dimana di setiap proses belajar mengajar ada pengawas yang menjadi kontrol kelas
2.   Penjauhan dari fasilitas benda-benda yang dapat melukai. Missal: benda tajam, benda-benda keras
3.   Psikolog yang mumpuni sebagai monitoring emosi dan terapi

0 komentar:

Posting Komentar